orang betawi

Budaya Betawi, Secara Singkat

ondel ondel

Bertepatan dengan HUT Jakarta ke-494, rasanya sudah sepantasnya kita menyelami hakikat sebenarnya dari apa yang menjadikan ibu kota ini ‘Jakarta’, dengan perpaduan berbagai budaya, dan sejarahnya yang kaya akan kebanggaan dan perjuangan, budaya Betawi yang telah menyatu dan menyatu selama berabad-abad, melahirkan tradisi dan kostum yang khusus untuk ibu kota.

Dibalik Nama

Berasal dari Batavia, nama ibu kota di bawah kekuasaan kolonial Belanda, Betawi merujuk pada penduduk ‘asli’ kota tersebut. Jadi, mereka bukanlah suatu suku bangsa, melainkan komunitas ‘kreol’ dari berbagai penjuru nusantara yang datang atau dibawa ke kota tersebut. Bersama-sama, selama ratusan tahun, mereka mengembangkan tradisi kolektif yang menciptakan budaya Betawi yang kita lihat saat ini. Budaya Betawi itu sendiri merupakan wadah peleburan, yang menunjukkan persatuan Indonesia dalam keberagaman.

Tradisi membentuk sebuah budaya, dan untuk benar-benar memahami budaya Betawi, kita harus menjelajahi tradisi yang membangunnya. Di sini, kami akan berbagi beberapa elemen penting dari budaya Betawi, mulai dari kulinernya hingga tarian budayanya, dan masih banyak lagi. Nantikan kolom kami yang sedang berlangsung ‘Buku Betawi’ untuk terus menemukan dan mempelajari lebih banyak lagi.

Nasi Uduk

nasi uduk

Dipercayai bahwa makanan pokok ini berasal dari percampuran budaya Melayu dan Jawa di Batavia, yaitu Jakarta pada masa kolonial. Setelah jatuhnya Kesultanan Malaka pada tahun 1511, orang-orang Melayu yang melarikan diri memasuki ibu kota Hindia Timur, membawa serta ‘nasi lemak’. Seabad kemudian, kerajaan Mataram berperang melawan penjajah Belanda, dan meskipun kalah, mereka melihat masuknya orang Jawa ke ibu kota. Dengan demikian, percampuran budaya Jawa dan Melayu ini dikatakan melahirkan ‘nasi uduk’.

Nasi uduk dikukus dengan berbagai macam rempah seperti jahe, lengkuas, daun salam, ketumbar, pala, kayu manis, dan serai. Kombinasi ini membuat nasi terasa manis dan harum sehingga sangat disukai bersama dengan berbagai lauk, termasuk tempe orek, telur dadar atau telur rebus, ayam suwir, bihun goreng, banyak sambal, dan seporsi kerupuk warna-warni di atasnya.

Pengalaman nyata dan autentik menyantap nasi uduk adalah membelinya dari pedagang kecil di lingkungan Betawi setempat. Selalu hangat, baru dibuat dari dapur, sarapan murah dan terjangkau bagi mereka yang baru memulai hari. 

Rumah Kebaya

Rumah Kebaya terkenal dengan atapnya yang menyerupai pelana yang dilipat dan jika dilihat dari samping, lipatan tersebut kemudian menjadi mirip dengan tepian bawah pakaian adat kebaya, tentu saja dari situlah gaya arsitektur ini mengambil namanya. 

Seperti halnya semua hal yang berbau Betawi, Rumah Kebaya berasal dari perpaduan berbagai budaya, yang memiliki beberapa kesamaan dengan rumah-rumah dari kelompok etnis lain. Bagian luarnya menyerupai Rumah Joglo di Jawa Tengah, fondasinya yang terbuat dari panggung mengingatkan kita pada rumah panggung khas Sunda, dan ornamen yang menghiasi pintu dan jendela diadopsi dari arsitektur Arab, Eropa, dan Cina. 

Rumah Kebaya juga dikenal dengan terasnya yang luas, dengan bale-bale (kursi panjang dan dangkal yang terbuat dari kayu atau bambu yang dapat menampung hingga empat orang sekaligus) dan meja kopi, tempat sebagian besar penghuni rumah menghabiskan waktu mereka, baik untuk menyambut tamu atau berbincang akrab dengan keluarga dan teman sambil menikmati semilir angin dari luar rumah. Merenungkan keramahtamahan dan keramahan yang berakar pada masyarakat dan budaya Betawi. 

Ondel ondel 

ondel1

Meskipun penampilan mereka yang ceria dan meriah tampaknya telah menurun selama bertahun-tahun — dengan (agak menakutkan) pengamen jalanan merendahkan maskot kota tersebut dengan sedikit uang tambahan — tidak seorang pun dapat menyangkal betapa ikonik dan mudah dikenalinya ‘ondel-ondel’ Jakarta.

Figur-figur boneka besar ini, selalu berpasangan, seorang pria dan seorang wanita, menjulang setinggi 2,5 meter. Rangka mereka terbuat dari bambu, dan wajah mereka, mata melotot, terbuat dari kayu. Di atas kepala mereka, mahkota liar dari serat palem ijuk hitam muncul ke segala arah. Mereka dikenakan di atas bahu pemain, yang berparade dan menari mengikuti lagu-lagu tradisional; ‘teater tanpa bicara’. Ondel-ondel juga mewakili dualitas: wajah laki-laki dicat dengan warna merah jahat, wajah perempuan dengan warna putih bersih dan polos. Memegang keseimbangan dunia di pundak seseorang. Beberapa teori menyatakan bahwa Ondel-ondel adalah pengaruh Bali, melihat kesamaan dengan ‘barong landung’ dari pulau itu. Budak-budak Bali diangkut ke Jakarta di masa lalu kolonial yang dalam dan mungkin telah ‘menyumbangkan’ elemen ini ke dalam repertoar budaya Betawi.

Penggunaan ondel-ondel menjadi hal yang lumrah, ketika Ali Sadikin — Gubernur Jakarta antara tahun 1967 dan 1977 — ingin mengangkat tradisi Betawi untuk menjadikan Jakarta sebagai budaya yang bersatu. Sejak saat itu, ondel-ondel tumbuh sebagai ikon kota, sementara asal-usulnya yang tidak diketahui kembali ke akar budaya Betawi yang rumit itu sendiri. 

Tari Sirih Kuning 

Tari Sirih Kuning

Tari Sirih Kuning lahir dari adaptasi selama bertahun-tahun dari tari cokek, sebuah pertunjukan Tionghoa yang berakulturasi dari waktu ke waktu. Secara tradisional dilakukan oleh para pedagang yang menetap dan menyatu dengan adat istiadat setempat di Batavia, tari cokek ditampilkan secara berpasangan antara pria dan wanita, tetapi seiring berjalannya waktu, versi lain yang dilakukan secara berkelompok – kebanyakan wanita – menjadi lebih umum dengan liku-liku tersendiri, melahirkan Sirih Kuning.

Keindahan tarian ini terletak pada keselarasan para penari dan irama yang diiringi oleh ensembel gambang kromong yang memainkan lagu Sirih Kuning yang terkenal. Lirik lagu tersebut menceritakan tentang seorang pemuda yang mencoba mendekati seorang gadis cantik untuk dinikahinya. Oleh karena itu, lagu ini juga menandakan peristiwa yang paling umum di mana orang akan melakukan tarian ini: dalam pernikahan Betawi, tepat pada prosesi serah terima Sirih Dare, yaitu tumpeng yang terbuat dari daun sirih kuning dengan kuncup mawar di tengahnya. Pengantin pria akan memberikan Sirih Dare kepada pengantin wanitanya sementara tarian Sirih Kuning dilakukan, sebuah tradisi yang melambangkan seorang pria yang meminta istri barunya untuk berdiri di sisinya saat mereka memulai hidup baru bersama. 

 

 

Posted In :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *