Pengukuran berat badan dan berat badan anak balita yang dilakukan di salah satu fasilitas kesehatan di Kota Bogor, Jawa Barat, sebagai bagian dari upaya pencegahan stunting. (mrhalliday/Pradita Kurniawan Syah)
Jakarta (mrhalliday) – Percepatan penurunan angka stunting sangat penting untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang mensyaratkan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam kurun waktu 10 tahun 2013-2023, Indonesia berhasil menurunkan angka stunting dari 37,2 persen menjadi 21,5 persen.
Tahun ini, pemerintah menargetkan angka stunting dapat terus diturunkan hingga mencapai 14 persen.
Berbagai program terus digencarkan, yang sebagian besar difokuskan pada perbaikan gizi ibu dan anak, dengan dibentuknya Tim Percepatan Penurunan Angka Stunting. Tim ini awalnya dipimpin oleh Wakil Presiden ke-13 Ma’ruf Amin.
Pada 2017, Ma’ruf menetapkan komitmen dan visi kepemimpinan, kampanye dan komunikasi tentang perubahan perilaku, aksi konvergensi program, ketahanan pangan dan gizi, serta monitoring dan evaluasi terpadu sebagai lima pilar pencegahan stunting.
Intervensi Gizi
Intervensi gizi merupakan salah satu aspek penting dalam upaya penurunan angka stunting. Untuk mengatasi stunting, pemerintah melakukan intervensi yang spesifik dan sensitif.
Intervensi gizi spesifik ditujukan langsung kepada penyebab stunting, yang biasanya meliputi faktor kesehatan seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit infeksi, atau kesehatan lingkungan.
Terdapat sembilan jenis intervensi gizi spesifik, yaitu pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita dengan berat badan kurang; pemberian suplemen zat besi bagi remaja, wanita usia subur, dan ibu hamil; serta promosi pemberian ASI dan konseling.
Intervensi gizi spesifik meliputi promosi dan konseling tentang penyediaan makanan bagi bayi dan anak, penanganan gizi buruk, pemantauan dan promosi pertumbuhan, suplementasi mikronutrien, pemeriksaan kehamilan, dan imunisasi, serta penanganan terpadu balita sakit.
Sementara itu, intervensi gizi sensitif berkaitan dengan penyebab tidak langsung stunting, yang tidak mencakup masalah kesehatan. Intervensi gizi sensitif dibagi menjadi empat jenis, yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, layanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran akan perawatan dan gizi, serta peningkatan akses terhadap makanan bergizi.
Anggaran pemerintah memegang peranan penting dalam mendukung pelaksanaan intervensi gizi.
Pada tahun 2022, Kementerian Keuangan mengalokasikan Rp44,8 triliun (sekitar US$2,84 miliar) untuk mendukung percepatan penanggulangan stunting.
Anggaran tersebut terdiri dari anggaran belanja sebesar Rp34,1 triliun untuk 17 kementerian dan lembaga, dana alokasi khusus (DAK) fisik sebesar Rp8,9 triliun, dan DAK nonfisik untuk pemerintah daerah sebesar Rp1,8 triliun.
Sementara itu, pada 2023, anggaran percepatan penanggulangan stunting untuk kementerian dan lembaga ditetapkan sebesar Rp30 triliun.
Pemerintah pusat juga menyediakan anggaran penanggulangan stunting melalui alokasi dana transfer keuangan ke pemerintah daerah sebesar Rp16,56 triliun. Dana desa juga diarahkan untuk program percepatan penanggulangan stunting.
Selain dukungan anggaran, pemerintah memberikan insentif fiskal kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka penanggulangan stunting.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pada 2023, total insentif fiskal yang diberikan kepada daerah dengan capaian penanggulangan stunting terbaik mencapai Rp1,68 triliun.
Insentif fiskal diberikan kepada 90 daerah yang terdiri dari 20 provinsi, 30 kota, dan 40 kabupaten pada tahun 2022. Sementara itu, pada tahun 2023, insentif tersebut diberikan kepada 125 daerah, dan pada bulan September 2024, Wakil Presiden saat itu Amin memberikan insentif fiskal untuk percepatan penurunan stunting kepada 130 pemerintah daerah.
Laporan kemajuan
Berdasarkan evaluasi kinerja anggaran dan pembangunan program percepatan stunting, hingga 15 Februari 2023, rata-rata capaian indikator intervensi spesifik melampaui target yang ditetapkan.
Persentase ibu hamil dengan kekurangan energi kronik yang mendapatkan asupan gizi tambahan mencapai 89,1 persen, proporsi ibu hamil yang mengonsumsi minimal 90 suplemen zat besi mencapai 87,1 persen, dan remaja putri yang mengonsumsi suplemen zat besi sebesar 46,4 persen.
Selain itu, sebanyak 90 persen balita gizi buruk diberikan penanganan gizi buruk, serta 78,3 persen balita terpantau tumbuh kembangnya.
Selanjutnya, proporsi balita gizi buruk yang mendapat asupan gizi tambahan mencapai 84,5 persen, dan balita yang mendapat imunisasi dasar lengkap 97,5 persen.
Adapun hasil intervensi sensitif, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, persentase pelayanan KB pascapersalinan mencapai 52,6 persen, melampaui target 50 persen.
Persentase kehamilan tidak diinginkan menurun menjadi 11 persen dari target 16,5 persen, sedangkan cakupan calon pasangan yang mendapat pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan perkawinan mencapai 75,5 persen, melampaui target 60 persen.
Selanjutnya, proporsi rumah tangga dengan akses air minum bersih di kabupaten dan kota prioritas mencapai 93 persen dari target 95,9 persen.
Sementara itu, persentase rumah tangga dengan akses sanitasi bersih di kabupaten dan kota prioritas mencapai 79,1 persen dari target 82,1 persen.
Selain itu, cakupan bantuan iuran jaminan kesehatan nasional mencapai 96,67 juta orang, mendekati target 96,8 juta. Cakupan
keluarga berisiko stunting yang menerima bantuan mencapai 42,7 persen terhadap target 30 persen, sementara jumlah keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan tunai mencapai target 10 juta.
Persentase kelompok sasaran dengan pemahaman baik tentang stunting di daerah prioritas mencapai 74 persen, melampaui target 70 persen.
Kemudian, jumlah keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan pangan mencapai 18,8 juta terhadap target 18,8 juta. Dan, pangsa desa yang mengakhiri buang air besar sembarangan mencapai 57 persen terhadap target 50,6 persen.
Data inklusif
Untuk membuat intervensi masyarakat lebih akurat, ada kebutuhan untuk data stunting yang lebih inklusif.
Dalam konteks kebijakan atau penelitian, data inklusif harus mencakup informasi dari berbagai latar belakang demografi, sosial, ekonomi, dan budaya, tanpa meninggalkan kelompok tertentu yang tidak terwakili.
Data yang tidak terpilah berpotensi menyebabkan penyalahgunaan anggaran penanggulangan stunting.
Pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, data yang terpilah harus terus diperbarui setiap tahunnya dan proses survei dan sensus tidak hanya harus dilakukan di tingkat nasional tetapi juga di tingkat kabupaten dan kota sehingga data penanggulangan stunting dapat lebih inklusif dan terpilah sedetail mungkin.
Kemajuan telah dicapai dalam pengumpulan data yang inklusif, dengan pemerintah melaksanakan Pengukuran dan Intervensi Tubuh Serentak untuk Pencegahan Stunting pada bulan Juni 2024.
Sebanyak 300.188 puskesmas terpadu dilibatkan dalam intervensi tersebut, yang berhasil meningkatkan jumlah balita yang ukuran tubuhnya tercatat secara signifikan.
Sebagai bagian dari intervensi tersebut, dilakukan pengukuran tubuh terhadap 16.381.852 balita. Dari total tersebut, masalah gizi, termasuk gizi buruk, gizi buruk, kurus, berat badan menurun, dan stunting, terdeteksi pada 5.807.312 anak.
Untuk mendukung pendataan, keterlibatan kader dalam pelaksanaan pengukuran tubuh dan pemuda dari program Generasi Keluarga Berencana (GenRe) dalam upaya penurunan stunting juga perlu ditingkatkan.
Para pelaku di lapangan perlu lebih diperhatikan agar dapat mengumpulkan data yang lebih inklusif untuk merancang intervensi yang akurat guna mewujudkan Indonesia bebas stunting.
Berita terkait:ย Kementerian Kependudukan harus koordinasikan penanganan stunting: Menteri Pratikno
Berita terkait:ย Cegah stunting untuk wujudkan Indonesia Emas: menteri
Leave a Reply