Suku Batak merupakan kelompok etnik terbesar ketiga di Indonesia berdasarkan sensus dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2010. Nama ini merupakan sebuah istilah kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang termasuk sebagai Batak adalah Batak Angkola, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak Dairi, Batak Simalungun, dan Batak Toba[a].[2]
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia, tetapi tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Sumatra Utara. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum).[3] Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak, maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.[butuh rujukan]
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang bernama Barus, yang terletak di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur barus yang diusahakan oleh petani-petani dari pedalaman. Kapur barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir barat Sumatra.[4] Sebagian pedagang Tamil itu ada yang berpindah ke dataran tinggi Karo dan menjadi cikal bakal beberapa marga Karo.[5] Pada masa berikutnya, perdagangan kapur barus mulai dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.[6]
Berdasarkan penuturan dari seorang kepala suku di Silindung saat kunjungan tiga misionaris dari Baptist Missionary Society, yaitu Nathaniel Ward, Evans Meers, dan Richard Burton pada tahun 1824, orang-orang Batak dipercaya merupakan kelompok pertama yang menetap di Pulau Sumatra. Tradisi mengenai negeri asal mereka tidak dapat diketahui lagi, selain bahwa negeri itu berada jauh di timur samudra. Awalnya, orang-orang Batak itu mendarat di sekitar wilayah timur dari Danau Toba. Mereka akhirnya bermukim di daerah tepian danau karena telah mendapatkan kenyamanan yang di ada di daerah itu. Setelah penduduk bertambah banyak, beberapa di antara mereka berpindah ke daerah Silindung, sebagian berpindah ke daerah Dairi di utara, dan selebihnya ke daerah Angkola di selatan. Orang-orang Batak di Angkola ini kemudian berangsur-angsur berpindah ke daerah Minangkabau. Mereka percaya bahwa sultan dari Kerajaan Pagaruyung merupakan anak ketiga dari Alexander Agung.[7]
Sebelum kedatangan Belanda, kepala-kepala suku berada di bawah pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, dan mereka mengirimkan upeti secara teratur kepada sultan melalui perantaranya di Barus.[8] Setelah Belanda berhasil menaklukkan pasukan Padri, wilayah Tapanuli dimasukkan ke dalam bagian administrasi Sumatra’s Westkust yang berpusat di Padang.[9]
Identitas Batak
Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah bergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Pakpak, Simalungun, dan Toba dalam organisasi Jong Batak di tahun 1926.
Organisasi ini memiliki satu kesepahaman:
Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah, dan pribahasa yang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari utara ke selatan, tapi terbagi jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangunan yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita mempunyai nenek moyang yang perkasa. Sistem marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata negara yang bijak. Kita berhak mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan kita dan melindungi budaya kuno itu [10]
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.[11] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.[12] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belanda-lah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak.[13]
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau.[14] Selain itu marga Nasution di Mandailing juga dipercaya merupakan keturunan Batara Payung Tuanku Raja Nan Sakti, putra Sultan Alamsyah Siput Aladin, raja Pagaruyung.[15][16] Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatra akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.[17]
Sebaran di wilayah Indonesia
Orang Batak kebanyakan berada di Sumatera Utara, dan menjadi salah satu suku asli provinsi tersebut. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah suku Batak sebanyak 8.446.969 jiwa, atau 3,58% dari seluruh penduduk Indonesia, dan berada di urutan ke tiga, setelah suku Jawa dan Sunda. Suku Batak mencakup semua sub-suku, yakni Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba. Berikut ini jumlah orang Batak di Indonesia menurut provinsi berdasarkan Sensus 2010:[18]
Agama
Kepercayaan
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen dan Islam, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi terhadap Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata Natolu. [butuh rujukan] Ajaran ini disebut Ugamo Malim dan penghayatnya dikenal sebagai Parmalim.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:[butuh rujukan]
- Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang menjadi kekuatan, oleh karena itu tondi memberikan kehidupan kepada manusia. Tondi diperoleh sejak seseorang dalam kandungan. Apabila tondi meninggalkan tubuh seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakanlah upacara mangalap (mengundang tondi) dari sombaon yang memikatnya. [ referensi diperlukan ]
- Sahala: adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.[butuh rujukan]
- Begu: adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah agama dan kepercayaan suku Batak yang terdapat di pustaha . Meski sudah memeluk agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun masyarakat Batak belum rela meninggalkan agama dan kepercayaan yang telah tertanam di hatinya. [ 19 ]
Penyebaran agama
Masuknya Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang “liar” dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[6] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.[20] Kerajaan Aceh di utara, juga berperan dalam mengislamkan sebagian masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatra Timur
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[21] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.[22]
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak – Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[19]
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke Bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.[23]
Berikutnya, misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM. Cap., masuk ke jantung tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934. Masyarakat Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, dan sebagian Angkola menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya.[24] Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak yang sudah tak lagi melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.[25]
Gereja di Tanah Batak
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.[26]
Misi Katolik masuk ke tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah misi Katolik masuk ke tanah Batak.
Budaya, Kekerabatan, dan Sistem Kemasyarakatan
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.[butuh rujukan]
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian marga. Dikarenakan tradisi Batak bersifat dinamis yang sering kali disesuaikan dengan waktu dan tempat, hal ini berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.[butuh rujukan]
Adanya falsafah dalam perumpamaan Bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul, merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan adat.[butuh rujukan]
Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas, sekaligus sebagai struktur dalam sistem kemasyarakatan yakni Dalihan Na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Na Tolu menurut keenam puak Batak:[butuh rujukan]
- Dalihan Na Tolu (Batak Toba):
- Somba Marhula-hula
- Manat Mardongan Tubu
- Elek Marboru
- Dalian Na Tolu (Batak Angkola dan Mandailing):
- Hormat Marmora
- Manat Markahanggi
- Elek Maranak Boru
- Tolu Sahundulan (Batak Simalungun):
- Martondong Ningon Hormat, Sombah
- Marsanina Ningon Pakkei, Manat
- Marboru Ningon Elek, Pakkei
- Rakut Sitelu (Batak Karo):
- Nembah Man Kalimbubu
- Mehamat Man Sembuyak
- Nami-nami Man Anak Beru
- Daliken Sitelu (Batak Pakpak):
- Sembah Merkula-kula
- Manat Merdengan Tubuh
- Elek Marberru
- Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).[butuh rujukan]
- Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.[butuh rujukan]
- Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.[butuh rujukan]
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.[butuh rujukan]
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku ‘raja’. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.[butuh rujukan]
Ritual kanibalisme
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakannya. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.[butuh rujukan]
Dalam memoir Marco Polo yang sempat melakukan ekspedisi di pesisir timur Sumatra dari bulan April sampai September 1292, menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai “pemakan manusia”.[27] Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat “Battas”. Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, tetapi dia bisa menceritakan ritual tersebut.[butuh rujukan]
Niccolò Da Conti (1395–1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414–1439), mencatat kehidupan masyarakat disana. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: “Dalam bagian pulau, disebut Batech, masyarakatnya hidup dengan berperang terus-menerus kepada tetangga mereka “.[28][29] Hal yang sama juga dicatat oleh William Marsden dalam bukunya History of Sumatra, yang menyatakan bahwa pedagang Minangkabau menjual senjata yang dibuat di Salimpaung kepada masyarakat di utara yang suka berperang.[30]
Kunjungan yang sama oleh Nathan Ward, Meers, dan Burton pada tahun 1828 mencatat dalam jurnalnya bahwa tindakan kanibalisme terjadi bukan karena kekurangan makanan, selera yang aneh, dendam pribadi, takhayul ataupun kehormatan militer. Kebiasaan kanibalisme ini lebih sebagai bentuk penghormatan kepada keadilan di tengah-tengah masyarakat dan amarah kepada pelaku kriminal.[31] Pendapat ini diambil karena pada sistem hukum suku Batak pada masa itu memiliki hukuman kanibalisme pada pelaku kriminal. Beberapa contoh yang mereka ketahui ialah orang yang ketahuan melakukan perampokan akan dibunuh secara publik dengan pisau atau kancing sumbu yang nanti akan dimakan secara ramai-ramai. Untuk pria yang berselingkuh, maka dia akan dimakan dengan memotong bagian tubuhnya sepotong-sepotong tanpa dibunuh terlebih dahulu. Para tawanan perang dan pria yang mati saat perang akan dimakan ramai-ramai, kecuali bila hanya dua desa saja yang berperang. Pada kunjungan ini, mereka mendengar bahwa 20 orang telah dimakan dalam satu hari dan tengkoraknya disimpan. Orang-orang tersebut merupakan penduduk yang tinggal di sekitar pinggir pantai yang sering menjarah para penumpang kapal yang mereka anggap sudah keterlaluan.[32]
Thomas Stamford Raffles pada tahun 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.[33] Raffles menyatakan bahwa: “Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup”.. “daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi”.[34]
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut “Battaer”). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.[35] Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud untuk menakut-nakuti pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[36]
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup-hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan jeruk nipis harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.[37]
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: “Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar “.[38]
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.[39] Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan tampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.[40]
Menurut Franz Wilhelm Junghuhn, dalam bukunya yang berjudul Die Battaländer auf Sumatra, kemungkinan ritual kanibalisme suku Batak hanyalah kabar angin yang ingin menakuti Belanda agar tidak berani memasuki tanah Batak.
Tarombo
Silsilah atau tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak tersesat (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.[butuh rujukan]
Leave a Reply